MANAJEMEN KELUARGA ISLAMI
Aang Kunaepi, S.Ag., M.Ag*
Mayoritas
manusia tentu mendambakan kebahagiaan, menanti ketentraman dan
ketanangan jiwa. Terlebih dalam lingkngan keluarga. Pentingnya
keharmonisan keluarga yang paling berpengaruh untuk pribadi dan
masyarakat adalah pembentukan keluarga dan komitmennya pada kebenaran.
Allah dengan hikmah-Nya telah mempersiapkan tempat yang mulia buat
manusia untuk menetap dan tinggal dengan tentram di dalamnya.[1]
Keluarga merupakan salah satu isu
penting dalam Islam. Bukankah suatu masyarakat terbentuk oleh sekelompok
keluarga. Jika keluarga sebagai pembentuk masyarakat itu sehat dan kuat
maka suatu negara akan sehat dan kuat pula. Sebaliknya jika keluarganya
sakit dan lemah, maka suatu negara juga akan lemah dan sakit. Dan dalam
Islam, keluarga adalah pusat pembentuk masyarakat dan peradaban Islam.
Di dunia Barat, yang disebut dengan keluarga adalah ibu, bapak dan anak atau bahkan single parent, karena mereka memandang keluarga sebagai nuclear family. Sedangkan masyarakat Islam memandang keluarga dalam pengertian yang lebih luas (extended family) bahkan tiga atau empat generasi masih dianggap satu keluarga.[2]
Di dalam bahasa Arab kata “keluarga” disebut ahl atau ahila yang
berarti keluarga secara menyeluruh termasuk kakek, nenek, paman, bibi
dan keponakan. Dalam pengertian yang lebih luas, keluarga dalam Islam
merupakan satu kesatuan unit yang besar yang disebut ummah atau
komunitas Umat Islam.Keluarga islami bukan sekedar berdiri di atas
kenyataan kemusliman seluruh anggota keluarga. Bukan juga karena
seringnya terdengar lantunan ayat-ayat al-Qur’an dari rumah itu, bukan
pula sekedar anak-anaknya disekolahkan ke masjid waktu sore hari.
Keluarga islami adalah rumah tangga yang
di dalamnya ditegakkan adab-adab islami, baik yang menyangkut individu
maupun keseluruhan anggota rumah tangga. keluarga islami adalah sebuah
rumah tangga yang didirikan di atas landasan ibadah. Mereka bertemu dan
berkumpul karena Allah, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran,
serta saling menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
mungkar, karena kecintaan mereka kepada Allah.Keluarga islami adalah
rumah tangga teladan yang menjadi panutan dan dambaan umat. Mereka betah
tinggal di dalamnya karena kesejukan iman dan kekayaan ruhani. Mereka
berkhidmat kepada Allah dalam suka maupun duka, dalam keadaan senggang
maupun sempit.[3]
Keluarga islami adalah rumah yang di dalamnya terdapat sakinah, mawadah, dan rahmah (perasaan
tenang, cinta dan kasih sayang). Perasaan itu senantiasa melingkupi
suasana rumah setiap harinya. Seluruh anggota keluarga merasakan suasana
“surga” di dalamnya. Baiti jannati(rumahku surgaku), demikian slogan mereka sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah untuk membentuk ummah yang kuat. Fatima Heeren dalam bukunya Women in Islam(1993), menyebutkan empat syarat dalam membangun keluarga Muslim.
Pertama, keluarga Muslim harus
menjadikan keluarga sebagai tempat utama pembentukan generasi yang kuat
dengan cara menyediakan keluarga sebagai tempat yang aman, sehat dan
nyaman bagi interaksi antara orangtua dan anak.Kedua, kehidupan berkeluarga harus dijadikan sarana untuk menjaga nafsu seksual laki-laki dan perempuan.Ketiga,
keluarga Muslim harus menjadikan keluarga sebagai tempat pertama dalam
menanamkan nilai-nilai kemanusiaaan seperti cinta dan kasih sayang.Keempat, keluarga
Muslim harus dijadikan sebagai tempat bagi setiap anggotanya untuk
berlindung dan tempat memecahkan segala permasalahan yang dihadapi
anggotanya.
Islam memandang pernikahan sebagai
sarana untuk membangun rumah tangga yang sakinah bagi suami-istri.
Pernikahan dalam Islam harus dipandang sebagai sarana dan kesempatan
untuk mengembangkan etika moral masing-masing karena suami-istri
mempunyai tanggungjawab yang bertambah yang harus dijaga oleh kedua
pasangan itu.Jelaslah bahwa keluarga dalam Islam bukan bersifat patriarchal (laki-laki lebih dominan) juga bukan matriarchal (perempuan lebih dominan). Keluarga dalam Islam harus berdasarkan prinsip saling memahami, melengkapi dan musyawarah.[4]
Pilar Peyangga Keluarga Islami
Bagaimanakah wujud keluarga islami itu?
Bayangan Anda tentang suami istri yang bertingkahlaku bagai malaikat
serta rahmat Allah yang senantiasa melimpahi kebutuhan hidup mereka
tentu bukanlah gambaran yang benar. Ajaran Islam sendiri merupakan
ajaran yang dirancang bagi manusia yang memiliki berbagai kelemahan dan
kekurangan sebagai sandaran dan pedoman hidup. Jadi, jika Anda menemui
goncangan-goncangan dalam masalah pribadi, hubungan dengan suami atau
istri dan anak-anak, atau dalam berbagai kondisi yang menyertai
keluarga, janganlah Anda cemas dan putus asa. Sebab, justru dalam momen
seperti itulah anda dapat memperlihatkan komitmen sebagai seorang Muslim
yang baik dalam keluarga. Ada beberapa hal yang patut diperhatikan
dalam upaya menumbuhkan keluarga bahagia menurut ajaran Islam ketika
menghadapi berbagai persoalan, diantaranya adalah:[5]
1. Fikrah yang Jelas
Pemikiran islami tentang tujuan-tujuan
dakwah dan kehidupan keluarga merupakan unsur pentng dalam perkawinan.
Ini adalah syarat utama karena keluarga islami bukanlah keluarga yang
tenang tanpa gejolak. Bukan pula keluarga yang berjalan di atas
ketidakjelasan tujuan sehingga melahirkan kebahagiaan semu. Keluarga
islami adalah keluarga yang juga memegang peran sebagai penggerak dakwah
Islam, baik dalam diri keluarga tersebut maupun bagi masyarakat luas.
2. Penyatuan idealisme
Ketika ijab qabul diucapkan di depan
wali, sebenarnya yang bersatu bukanlah sekedar jasad dua makhluk yang
berlainan jenis. Pada detik itu sesungguhnya tengah terjadi pertemuan
dua pemikiran, perjumpaan dua tujuan hidup dan perkawinan dua pribadi
dengan tingkat keimanan masing-masing. Karena itu, penyatuan pemikiran
dan idealisme akan menyempurnakan pertemuan fisik keduanya.
3. Mengenal karakter pribadi
Kepribadian manusia ditentukan oleh
berbagai unsur lingkungan: nilai yang diyakini dan lingkungan terdekat
serta lingkungan internal (sifat bawaan) manusia itu sendiri. Mengenal
secara jelas karakter pasangan hidup adalah bekal utama dalam upaya
penyesuaian, penyeimbangan dan bahkan perbaikan. Satu catatan penting
mengenai hal ini adalah manusia bersabar selama proses pengenalan itu
berlangsung, sebab hal itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar
4. Pemeliharaan Kasih Sayang
Sikap rahmah (kasih sayang) kepada
pasangan hidup dan anak-anak merupakan faktor penting kelangsungan
keharmonisan keluarga. Rasulullah `menyapa Aisyah dengan panggilan yang
memanjakan dan menyenangkan hati. Bahkan beliau membolehkan seseorang
‘berbohong’ kepada pasangannya dalam rangka membangun kasih sayang.
Suami atau istri harus mampu menampilkan sosok diri dan pribadi yang
dapat menumbuhkan rasa tenteram, senang dan rindu. Ingat, di atas rasa
kasih sayanglah pasangan hidup dapat membagi beban dan meredam konflik.
5. Kontinuitas Pendidikan (Tarbiyah)
Pendidikan (tarbiyah) merupakan
kebutuhan asasi setiap manusia. Para suami yang telah aktif dalam medan
dakwah biasanya akan mudah mendapatkan hal ini. Namun, istri juga
memiliki hak yang sama. Penyelenggaraannya merupakan tanggung jawab
suami khususnya, kaum lelaki Muslim umumnya. Itulah sebabnya Rasulullah
meluluskan permintaan ta’lîm (pengajaran) para wanita muslimah
yang datang kepada beliau. Beliau memberikan kesempatan khusus bagi
pembinaan wanita dan kaum ibu (ummahât).
6. Penataan Ekonomi
Turunnya surat al-Ahzâb yang berkaitan
dengan ultimatum Allah lkepada para istri Nabi ` erat kaitannya dengan
persoalan ekonomi. Islam dengan tegas telah melimpahkan tanggung jawab
nafkah kepada suami, tanpa melarang istri membantu beban ekonomi suami
jika ada kesempatan dan peluang, dan tentu selama masih berada dalam
batas-batas syari’ah. Ditengah tanggung jawab dakwah, suami harus
bekerja keras agar dapat memberikan pelayanan fisik kepada keluarga.
Dalam kondisi ini, qanaah (bersyukur atas seberapa pun hasil
yang diperoleh) adalah sikap yang harus ditampilkan istri.
Persoalan-persoalan teknis yang menyangkut pengelolaan ekonomi keluarga
dapat dimusyawarahkan dan dibuat kesepakatan antara suami dan istri.
Kebahagiaan dan ketenangan akan lahir jika di atas kesepakatan tersebut
dibangun sikap amanah (benar dan jujur).
7. Sikap Kekeluargaan
Pernikahan sebenarnya diiringi dengan
pernikahan ”antara dua keluarga besar”, dari pihak istri dan juga suami.
Selayaknyalah, dalam batas-batas yang diizinkan syari’at, sebuah
pernikahan tidak mengganggu struktur serta suasana keluarga
masing-masing. Pernikahan janganlah membuat suami atau istri kehilangan
perhatian pada keluarganya (ayah, ibu, adik, kakak dan seterusnya).
Sebaliknya istri atau suami tidak boleh menghabiskan perhatiannya hanya
untuk keluarganya masing-masing sehingga tanggung jawabnya sebagai
pasangan keluarga di rumahnya sendiri terbengkalai. Menurunnya frekuensi
interaksi fisik tidak boleh berarti menurun pula perhatian dan kasih
sayang.
8. Pembagian Beban
Meski ajaran Islam membeberkan dengan
jelas fungsi dan tugas elemen keluarga (suami, istri, anak dan pembantu)
namun dalam pelaksanaannya tidaklah kaku. Jika Rasulullah memenyatakan
bahwa seorang istri adalah pemimpin bagi rumah dan anak-anak, bukan
berarti seorang suami tidak perlu terlibat dalam pengurusan rumah tangga
dan anak-anak. Ajaran Islam tentang keluarga adalah sebuah pedoman baku
yang merupakan titik pangkal segala kehidupan berkeluarga. Dalam
tindakan sehari-hari, nilai-nilai lain, misalnya tentang itsar (memperhatikan dan mengutamakan kepentingan orang lain), ta’âwun (tolong menolong), rahim (kasih
sayang) harus ikut ditanamkan dan diamalkan dalam keluarga. Hal
tersebut dapat dijumpai dalam riwayat yang shahih betapa Nabi
`bercengkerama dengan anak dan cucu, menyapu rumah, menjahit baju yang
koyak dan lain-lain.
9. Penyegaran
Manusia mempunyai hati dan otak yang
kadangkala mengalami kelelahan dan kejenuhan. Nabi emengkritik seseorang
yang menamatkan al-Qur’an kurang dari tiga hari, yang menghabiskan
waktu malamnya hanya dengan shalat, dan yang berpuasa setiap hari.
Dalam ta’lîm,Nabi ` juga memberikan selang waktu (dalam
beberapa riwayat per-pekan), tidak setiap saat atau setiap hari. Variasi
aktivitas dibutuhkan manusia agar jiwanya tetap segar. Dengan demikian,
keluarga yang bahagia tdak akan tumbuh dari aktivitas keluarga yang
monoton. Di samping tarbiyah, keluarga membutuhkan rekreasi (perjalanan,
diskusi-diskusi ringan, kemah, dll).
10. Menata diri
Allah lmengisyaratkan hubungan yang erat antara ketaqwaan dan yusran (kemudahan), dan makhrojan (jalan
keluar). Faktor kefasikan atau rendahnya iman identik dengan kesukaran,
kemelut dan jalan buntu. Patutlah pasangan muslim senantiasa menata
dirinya masing-masing agar jalan panjang kehidupan rumah tangganya dapat
diarungi tanpa hambatan dan rintangan yang menghancurkan.
11. Mengharapkan Rahmat Allah
Ketenangan dan kasih sayang dalam
keluarga merupakan rahmat Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya
yang shalih. Rintangan-rintangan menuju keadaan itu datang tidak saja
dari faktor internal saja, namun juga dapat muncul dari faktor eksternal
termasuk gangguan setan dan jin. Karena itu, hubungan vertikal dengan
al-Khaliq harus dijaga sebaik mungkin melalui ibadah dan doa. Nabi
`banyak mengajarkan doa-doa yang berkaitan dengan masalah keluarga.
Landasan Keluarga Islami
Dari pengertian di atas, rumah tangga
islami ternyata memiliki banyak konsekuensi. Paling tidak, ada sepuluh
konsekuensi dasar yang menjadi landasan bagi tegaknya rumah tangga
islami, yakni[6]
- Didirikan di atas Landasan Ibadah
Keluarga islami harus didirikan dalam
rangka beribadah kepada Allah lsemata. Artinya, sejak proses memilih
jodoh, landasannya haruslah benar. Memilih pasangan hidup haruslah
karena kebaikan agamanya, bukan sekedar karena kecantikan, harta, maupun
keturunannya.Prosesi pernikahannya pun sejak akad nikah hingga walimah
tetap dalam rangka ibadah, dan jauh dari kemaksiatan. Sampai akhirnya,
mereka menempuh bahtera kehidupan dalam suasana ta’âbudiyah (peribadahan) yang jauh dari dominasi hawa nafsu. ”Dan Aku tidak menciptkan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QSal-Dzâriyat [51]: 56).
Ketundukan diri kepada Allah sejak
langkah-langkah awal mendirikan rumah tangga setidaknya menjadi pemacu
untuk tetap tunduk dalam langkah-langkah selanjutnya. Kelak, jika
terjadi permasalahan dalam rumah tangga, mereka akan mudah
menyelesaikan, karena semua telah tunduk kepada peraturan Allah dan
Rasul-Nya.[7]
- Internalisasi Nilai-nilai Islam Secara Kaffah
Internalisasi nilai-nilai Islam secara kaffah (menyeluruh)
harus terjadi dalam diri setiap anggota keluarga, sehingga mereka
senantiasa komit terhadap adab-adab islami. Di sinilah peran keluarga
sebagai benteng terkuat dan filter terbaik di era globalisasi yang mau
tak mau harus dihadapi kaum muslimin.
Allah berfirman:“Hai orang-orang
yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhannya, dan
janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya, setan
itu musuh yang nyata bagi kalian.”(QS al-Baqarah [2]: 208).
Untuk itu, rumah tangga islami dituntut
untuk menyediakan sarana-sarana tarbiyah islamiyah yang memadai, agar
proses belajar, menyerap nilai dan ilmu, sampai akhirnya aplikasi dalam
kehidupan sehari-sehari bisa diwujudkan. Internalisasi nilai-nilai Islam
ini harus berjalan secara terus-menerus, bertahap dan berkesinambungan.
Tanpa hal ini, adab-adab Islam tidak akan bisa ditegakkan.[8]
- Qudwah yang Nyata
Diperlukan qudwah (keteladanan)
yang nyata dari sekumpulan adab Islam yang hendak diterapkan. Orangtua
memiliki posisi dan peran yang sangat penting dalam hal ini. Sebelum
memerintahkan kebaikan atau melarang kemungkaran kepada anggota keluarga
yang lain, pertama kali orang tua harus memberikan keteladanan. Allah
menegaskan: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan
sesuatu yang tidak kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah
bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tiada kalian kerjakan” (QS al-Shâff [61]: 3-4).
Keteladanan semacam ini amat diperlukan,
sebab proses interaksi anak-anak dengan orangtuanya dalam keluarga amat
dekat. Anak-anak akan langsung mengetahui kondisi ideal yang
diharapkan. Di sisi lain, pada saat anak-anak masih belum dewasa, proses
penyerapan nilai lebih ditekankan pada apa yang mereka lihat dan dengar
dalam kehidupan sehari-hari. Tidak banyak manfaatnya orangtua menyuruh
anak-anak rajin sholat tepat waktu, sementara orangtua sendiri selalu
asyik melihat acara televisi saat waktu shalat.
- Penempatan Posisi Anggota Keluarga Sesuai Syari’at
Islam telah memberikan hak dan kewajiban
bagi masing-masing anggota keluarga secara tepat dan manusiawi. Apabila
hal ini ditepati, akan mengantarkan mereka pada kebaikan dunia dan
akhirat.
Allah berfirman: ”Dan janganlah kamu
iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu,
lebih banyak dari yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian
dari apa yang mereka usahakan, dan bagi wanita (pun) ada bagian dari apa
yang mereka usahakan, dan mohonlah Allah sebagian dari karunia-Nya.” (QS al-Nisâ’ [4]: 32).
Masih banyak keluarga Muslim yang belum
bisa berbuat sesuai dengan tuntutan Islam. Betapa sering kita dengar
konflik di sebuah rumah tangga Muslim bermula dari tidak terpenuhinya
hak dan kewajiban masing-masing. Suami hanya menuntut haknya dari istri
dan anak-anak tanpa mau memenuhi kewajibannya. Demikian juga dengan
istri. Maka bisa diduga, yang terjadi kemudian adalah ketidakharmonisan
suasana keluarga.
Masih banyak pula kita dengar kasus
penyimpangan seksual yang dilakukan orangtua maupun remaja. Sumber
bencana itu banyak yang berawal dari ketidakharmonisan dalam rumah
tangga. Fungsi-fungsi keluarga tidak berjalan dengan normal, karena
katub-katub curahan perasaan yang tersumbat, dan akhirnya meledak dalam
bentuk penyimpangan-penyimpangan.
- Tolong-menolong dalam Menegakkan Adab-adab Islam
Berkhidmat dalam kebaikan tidaklah
mudah, amat banyak gangguan dan godaannya. Jika semua anggota keluarga
telah bisa menempatkan diri secara tepat, maka ta’âwun (tolong-menolong) dalam kebaikan akan lebih mudah dilakukan.
Allah berfirman: “Dan
tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan
janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS al-Mâ’idah [5]: 2).
Bisa dibayangkan, betapa sulitnya
membentuk suasana islami apabila suasana kerjasama ini tak terwujud.
Salah seorang anggota keluarga memiliki kesenangan menonton televisi,
hingga semua acara dilihatnya. Seorang lagi hobi main musik di rumah.
Yang lain lagi lebih banyak keluyuran dan begadang hingga larut malam.
Tak ada suasana tausiyah (saling menasehati) di antara mereka. Lalu
bagaimana mereka bisa menjadi sebuah keluarga Muslim yang ideal?
- Kondusif Bagi Terlaksananya Aturan Syariat Islam
Rumah tangga islami adalah rumah yang
secara fisik kondusif bagi terlaksananya aturan syariat Islam. Adab-adab
Islam dalam kehidupan rumah tangga akan sulit diaplikasikan jika
struktur bangunan rumah yang dimiliki tiada mendukung. Di sisi inilah
pembahasan tentang rumah tangga islami banyak dilupakan. Dalam budaya
masyarakat daerah tertentu lantaran permasalahan ekonomi, rumah mereka
hanyalah bangunan segi empat tanpa sekat ruang di dalamnya. Ruang tidur
tak bersekat dengan ruang tamu, dapur, bahkan di desa-desa terpencil
dengan kandang sapi. Tempat tidur mereka hanya berupa ranjang bambu yang
panjang dan luas. Mereka sekeluarga tidur berjajar di atasnya. Tidak
ada tempat tidur khusus bagi kedua orangtua yang terpisah dari anak-anak
dan ruang tamu. Tidak ada ruang khusus bagi anak-anak perempuan yang
terpisah dengan anak laki-laki. Berbagai penyakit ruhani akan mudah
muncul dalam kondisi semacam itu.
Kenyataan dalam masyarakat modern
sekarang adalah problem perumahan. Selain harga tanah yang terus-menerus
bertambah tinggi dari waktu ke waktu, juga kemampuan ekonomi bagi
kalangan menengah ke bawah yang makin tak bisa menjangkau harga
perumahan yang bisa dianggap layak huni. Akibatnya, berbagai kompleks
perumahan sederhana, rumah susun bahkan rumah sangat sederhana, dibangun
untuk membantu mengatasi probelm itu. Ruang-ruang yang amat terbatas
dan sempit serta jarak antarrumah yang hanya berbatas satu tembok
merupakan pemandangan yang sudah biasa. Berbagai penyakit sosial
merupakan ancaman serius dalam kompleks perumahan semacam itu.[9]
Manajemen Keuangan Keluarga
Manajemen keuangan keluarga islami harus
dilandasi prinsip keyakinan bahwa penentu dan pemberi rizqi adalah
Allah dengan usaha yang diniati untuk memenuhi kebutuhan keluarga agar
dapat beribadah dengan khusyu’.Dengan demikian keluarga akanmemiliki
komitmen dan prioritas penghasilan halal yang membawa berkah dan
menghindari penghasilan haram yang membawa petaka. Rasulullah `bersabda:
“Barang siapa berusaha dari yang haram kemudian menyedekahkannya, maka ia tidak mempunyai pahala dan dosa tetap di atasnya.”
Dalam riwayat lain disebutkan: “Demi
Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah seorang hamba memperoleh
penghasilan dari yang haram kemudian membelanjakannya itu akan mendapat
berkah. Jika ia bersedekah, maka sedekahnya tidak akan diterima.
Tidaklah ia menyisihkan dari penghasilan haramnya itu kecuali akan
menjadi bekal baginya di neraka. Sesungguhnya Allah tidak akan menghapus
kejelekan dengan kejelekan, tetapi menghapus kejelekan itu dengan
kebaikan sebab kejelekan tak dapat dihapus dengan kejelekan pula.” (HR. Ahmad).
Sabda Rasulullah: “Daging yang tumbuh dari harta haram tidak akan bertambah kecuali neraka lebih pantas baginya.” (HR. Tirmidzi).
Seorang wanita shalihah akan selalu
memberi saran kepada suaminya ketika hendak mencari rizqi, dengan
mengatakan “takutlah kamu dari usaha yang haram sebab kami masih mampu
bersabar di atas kelaparan, tetapi tidak mampu bersabar di atas api
neraka.” Demikian pula sebaliknya suami akan berwasiat kepada istrinya
untuk menjaga amanah Allah dalam mengurus harta yang dikaruniakan-Nya,
agar dibelanjakan secara benar tanpa boros, kikir maupun haram.
Firman Allah yang memuji hamba-Nya yang baik: “Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu)
di tengah-tengah antara yang demikian.” (QSal-Furqân [25]:67).
Dalam mencari pendapatan, Islam tidak memperkenankan seseorang untuk ngoyo dalam
pengertian berusaha di luar kemampuannya dan terlalu terobsesi sehingga
mengorbankan atau menelantarkan hak-hak yang lain baik kepada Allah,
diri maupun keluarga seperti pendidikan dan perhatian kepada anak dan
keluarga. Rasulullah `bersabda: “Sesungguhnya bagi dirimu,
keluargamu dan tubuhmu ada hak atasmu yang harus engkau penuhi, maka
berikanlah masing-masing pemilik hak itu haknya.” (HRal-Bukhâri dan Muslim).
Allah telah menegaskan bahwa bekerja itu
hendaknya sesuai dengan batas-batas kemampuan manusia. (QS al-Baqarah
[2]:286). Namun bila kebutuhan sangat banyak atau pasak lebih besar
daripada tiang maka dibutuhkan kerjasama yang baik dan saling membantu
antara suami istri untuk meningkatkan pendapatan keluarga dan melakukan
penghematan sehingga tiang penyangga lebih besar dari pada pasak.
Rasulullah `bersabda: “Janganlah kamu bebani mereka dengan apa-apa
yang mereka tidak sanggup memikulnya. Dan apabila kamu harus membebani
mereka di luar kemampuan, maka bantulah mereka.” (HR Ibnu Majah).
Dalam manajemen keuangan keluarga juga
tidak dapat dilepaskan dari optimalisasi potensi keluarga termasuk
anak-anak untuk menghasilkan rizqi Allah. Islam senantiasa memperhatikan
masalah pertumbuhan anak dengan anjuran agar anak-anak dilatih mandiri
dan berpenghasilan sejak usia remaja di samping berhemat agar
pertumbuhan ekonomi keluarga Muslim dapat berjalan lancar yang merupakan
makna realisasi keberkahan secara kuantitas maka Islam melarang
orangtua untuk memanjakan anak-anak sehingga tumbuh menjadi benalu,
tidak mandiri dan bergantung kepada orang lain. Firman Allah yang telah
disebutkan sebelumnya (QS al-Nisâ’ [4]:6) mengisyaratkan bahwa kita
wajib mendidik dan membiasakan anak-anak untuk cakap mengurus, mengelola
dan mengembangkan harta, sehingga mereka dapat hidup mandiri yang
nantinya akan menjadi kepala rumah tangga bagi laki-laki dan pengurus
keuangan keluarga bagi perempuan, di samping anak terlatih untuk
bekerja, meringankan beban dan membantu orangtua.
Nafkah Dalam Keluarga
Secara prinsip, fitrah kewajiban
memberikan nafkah merupakan tanggung jawab suami sehingga wajib bekerja
dengan baik melalui usaha yang halal dan wanita sebagai kaum istri
bertanggung jawab mengelola dan merawat aset keluarga. Allah berfirman: “Kaum
laki-laki itu adalah pengayom bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian
dari harta mereka…” (QSal-Nisâ [4]:34).
Posisi kepala rumah tangga bagi suami
paralel dengan konsekuensi memberi nafkah dan komitmen perawatan
keluarganya secara lazim. Oleh karena itu Nabi secara proporsional telah
mendudukkan posisi masing-masing bagi suami istri dalam sabda beliau: “Setiap
kalian adalah pengayom dan setiap pengayom akan dimintai
pertanggungjawaban atas apa yang harus diayominya. Suami adalah pengayom
bagi keluarganya dan bertanggung jawab atas anggota keluarga yang
diayominya. Istri adalah pengayom bagi rumah tangga rumah suaminya dan
akan dimintai pertanggungjawaban atas aset rumah tangga yang
diayominya…” (HRal-Bukhari)
Ketika Rasulullah menikahkan putrinya, Fathimah dengan Ali beliau berwasiat kepada menantunya: “Engkau berkewajiban bekerja dan berusaha sedangkan ia berkewajiban mengurus rumah tangga.” (HR Muttafaq ‘Alaih).[10]
Jadi, pembagian tugas suami-istri dalam
aspek keuangan keluarga adalah dalam bentuk tanggung jawab suami untuk
mencari nafkah halal dan tanggung jawab istri untuk mengurus, mengelola,
merawat dan memenej keuangan rumah tangga. Meskipun demikian, bukan
berarti suami tidak boleh memberikan bantuan dalam pengelolaan aset dan
keuangan rumah tangganya bila istri kurang mampu atau memerlukan
bantuan.
Sebaliknya tidak ada larangan syariat
bagi istri untuk membantu suami terlebih ketika kurang mampu dalam
memenuhi kebutuhan keluarga dengan cara yang halal dan baik serta tidak
membahayakan keharmonisan dan tanggung jawab utama dalam rumah tangga
selama suami mengizinkan.Bahkan hal itu bisa bernilai kebajikan bagi
sang istri. Bukankah Khadijah. ikut andil dalam membantu mencukupi
kebutuhan keluarga Nabi ` sebagai bentuk ukhuwah dan tolong menolong dalam kebajikan.[11]
Prinsip keadilan Islam menjamin hak kaum
wanita untuk mencari karunia Allah `(rizqi) sesuai kodrat dan ketentuan
syariat dengan niat mencukupi diri dan keluarga untuk beribadah kepada
Allah `secara khusyu’. Meskipun demikian, istri harus memiliki keyakinan
bahwa tugas utama dalam keluarganya adalah mengatur urusan rumah tangga
dan mengelola keuangan keluarga bukan mencari nafkah. Para ulama tafsir
(mufassirîn) menyimpulkan surat al-Nisâ’ [4]: 32, “Bagi para lelaki
ada bahagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi para wanita (pun)
ada bahagian dari apa yang mereka usahakan…”, prinsip dasar hak dan
kebebasan wanita untuk berusaha mencari rizqi. Sejarah Islam di masa
Nabi etelah membuktikan adanya peran sosial kaum wanita dalam
peperangan, praktek pengobatan dan pengurusan logistik. Di samping itu
mereka juga terlibat dalam aktivitas perniagaan dan membantu suami dalam
pertanian[12].
Banyak orang merasa bahwa membicarakan
keuangan dalam keluarga adalah tabu. Sesungguhnya, justru hal tersebut
seharusnya dibicarakan. Keuangan keluarga membutuhkan pola pengelolaan
dimana masing-masing individu di dalam keluarga (suami dan istri)
memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Pembagian tanggung jawab
dapat meringankan persoalan yang mungkin timbul di masa depan. [13]
Uang seringkali menjadi penyebab
terjadinya perceraian. Perselisihan mengenai keuangan bisa saja terjadi
disaat berkelimpahan uang maupun disaat kekurangan uang. Masyarakat
Indonesia merasa risih bila harus membicarakan masalah keuangan dalam
keluarga. Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk terus menyerukan
kepada semua kalangan masyarakat terutama pasangan suami istri untuk
belajar saling terbuka mengenai keuangannya masing-masing. Penulis
sangat percaya bahwa setiap orang memiliki pandangan mengenai uang yang
berbeda-beda karena suami atau istri dibesarkan di lingkungan yang
berbeda. Kegagalan dalam membicarakan soal keuangan di dalam keluarga
berpotensi menimbulkan permasalahan.Menggunakannya terkait erat dengan
adanya kemampuan (kompetensi) dan kepantasan (integritas) dalam
mengelola aset atau dalam istilah prinsip kehati-hatian perbankan (prudential principle).
Prinsip Islam mengajarkan bahwa
“Sebaik-baik harta yang shalih (baik) adalah dikelola oleh orang yang
berkepribadian shalih (amanah dan profesional).” Hak bekerja dalam arti
kebebasan berusaha, berdagang, memproduksi barang maupun jasa untuk
mencari rizqi Allah secara halal merupakan hak setiap manusia tanpa
diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Bila kita tahu bahwa kaum
wanita diberikan oleh Allah hak milik dan kebebasan untuk memiliki, maka
sudah semestinya mereka juga memiliki hak untuk berusaha dan mencari
rizqi.[14]
Rasulullah memuji seseorang yang hidup dari hasil usahanya sendiri dengan sabdanya: “Tidaklah
seseorang memakan makanan lebih baik dari memakan makanan yang
diperoleh dari hasil kerja sendiri, sebab nabi Allah, Daud, memakan
makanan dari hasil kerjanya.”(HRal-Bukhâri). Dalam riwayat yang lain: “Semoga
Allah merahmati seseorang yang mencari penghasilan secara baik,
membelanjakan harta secara hemat dan menyisihkan tabungan sebagai
persediaan di saat kekurangan dan kebutuhannya.” (HR Muttafaq ‘Alaih).
Hal ini menunjukkan bahwa Islam
menghendaki setiap muslim untuk dapat mengelola usaha dan berusaha
secara baik, mengelola dan mengelola harta secara ekonomis, efisien dan
proporsional serta memiliki semangat dan kebiasaan menabung untuk masa
depan dan persediaan kebutuhan mendatang. Prinsip ini sebenarnya menjadi
dasar ibadah kepada Allah agar dapat diterima (mabrûr) karena saran, niat dan caranya baik. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah itu baik dan hanya menerima yang baik-baik saja.” (HR Muslim).
Kesadaran akuntabilitas (ma’ûliyah)
dalam bidang keuangan itu yang mencakup aspek manajemen pendapatan dan
pengeluaran timbul karena keyakinan adanya kepastian audit dan
pengawasan dari Allah seperti sabda Nabi, “Kedua telapak kaki
seorang hamba tidak akan beranjak dari tempat kebangkitannya di hari
kiamat sebelum ia ditanya tentang empat hal, di antaranya tentang
hartanya; dari mana dia memperoleh dan bagaimana ia membelanjakan.” (HRal-Tirmidzi).
Berikut ini ada tiga tipe pengelolaan
yang bisa dipilih sesuai dengan kemampuan keluarga. Tentunya masih
banyak lagi pola pengelolaan yang ada. Hal terpenting adalah saling
keterbukaan dalam menjalani kehidupan keluarga dengan tanggung jawab
bersama.[15]
1. Uang Dikelola Bersama
Penghasilan suami istri langsung
digabung bersama. Setelah itu, gabungan kedua pendapatan langsung
dialokasikan ke pos-pos pengeluaran rutin yang telah dihitung lebih
dulu. Lazimnya, setiap pos diwakili oleh satu amplop. Pos-pos
pengeluaran itu, pada beberapa keluarga, bukan saja kebutuhan makan,
minum, dan listrik saja, tapi juga termasuk membayar kredit rumah,
cicilan mobil, listrik, telepon, uang sekolah anak, asuransi dan
kebutuhan mobil (bensin, servis berkala, kerusakan, dan lain-lain).
Bahkan tabungan, pengeluaran pribadi ayah-ibu dan liburan pun jadi
amplop tersendiri. Bila ada sisa, dimasukkan ke dalam tabungan suami
atau istri, atau khusus membuka lagi account bersama di bank untuk
”menampung” sisa amplop setiap bulannya.
2. Membagi Berdasar Persentase
Bentuk manajemen ini adalah membagi
tanggung jawab dalam bentuk jumlah atau persentase seluruh kebutuhan
keluarga setiap bulan dihitung termasuk pos darurat dan pos tabungan.
Masing-masing sepakat menyumbang sebesar jumlah tertentu untuk menutupi
kebutuhan tersebut. Sisanya digunakan sebagai tabungan pribadi untuk
kebutuhan pribadi. Misalnya, istri membeli parfum, lipstik, atau baju.
Bisa juga tanpa menghitung kebutuhan keluarga terlebih dahulu,
suami-istri memberi kontribusi yang sama berdasarkan prosentase.
Misalnya 80:20. Artinya, masing-masing menyetor 80 persen dari gajinya.
Sisa 20 persen disimpan untuk diri sendiri. Jika bisa berhemat, dari
uang bersama yang 80 persen, bisa tersisa untuk tabungan keluarga, di
samping suami dan istri juga masing-masing punya tabungan pribadi.
3. Membagi Tanggung Jawab
Misalnya, suami mengeluarkan biaya untuk
urusan berat, seperti membayar kredit rumah, cicilan mobil, listrik,
telepon, uang sekolah anak, kebutuhan mobil, dan asuransi. Sementara
bagian istri adalah belanja logistik bulanan, pernak-pernik rumah,
jajan, dan liburan akhir pekan dan pos tabungan. Dilihat dari jumlahnya,
suami menanggung lebih banyak dana. Tapi istri juga punya peranan dalam
kontribusi dana rumah tangga. Kalau ternyata istri yang memiliki
pendapatan lebih besar, tentunya hal ini juga bisa dilakukan sebaliknya.
Mana yang terbaik? Hal ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan dan
tentunya kesepakatan antara suami dan istri. Diskusikan hal ini dengan
pasangan masing-masing, agar persoalan keuangan keluarga bukan lagi
menjadi masalah dalam keluarga.
Tiga Hal Penting dalam Mengelola Keuangan Bersama
Pertama,
pembagian kerja sangatlah dibutuhkan dalam hal mengatur keuangan. Contoh
singkatnya, siapa yang membayar semua kebutuhan sehari-hari rumah
tangga. Misalkan jika istri yang harus membayarnya maka suami dalam hal
ini harus mentransfer dana yang cukup setiap bulannya untuk memenuhi
semua kebutuhan keuangan keluarga. Bila Anda memutuskan untuk
mendelegasikan satu orang untuk membayar semua tagihan bulanan keluarga
maka hal penting yang harus diperhatikan adalah kejujuran. Suami-istri
haruslah terbuka satu dengan yang lain berkenaan dengan permasalahan
keuangan. Jangan sampai bila suami-istri menggunakan rekening bersama
dan salah satu dari keduanya mengambil dana dalam jumlah besar dan tidak
mengatakan kepada pasangan.
Kedua,
pengeluaran yang disepakati menjadi sangat vital. Suami-istri harus
mencapai kata sepakat dalam merencanakan pengeluaran. Hal ini biasanya
berkaitan dengan pengeluaran yang tidak tetap, misalkan keputusan untuk
mengganti mobil dengan yang baru setelah berapa tahun? Kapan dan dimana
mau berlibur? Sebagai kesimpulan, suami-istri harus membicarakan dan
bersepakat dalam kebutuhan yang harus dipenuhi, apa yang menjadi
keinginan bersama dan apa yang dapat dipenuhi.
Ketiga, hal terakhir yang
sangat penting adalah menabung. Dalam hal ini visi kedepan menjadi
sangat penting. Dimana dengan tujuan yang ditentukan akan memberikan
motivasi serta pemilihan strategi yang dapat membantu suami-istri
mencapai tujuan masa depan yang dimiliki. Dengan begitu pasangan
suami-istri juga akan melihat pentingnya pengalokasian dana saat ini dan
dimulai saat ini juga.
Ikhtitâm
Keluarga merupakan sebuah lembaga sosial
yang paling besar perannya bagi kesejahteraan dan kelestarian
anggota-anggotanya, terutama anak-anak. Keluarga merupakan lingkungan
sosial yang terpenting bagi perkembangan dan pembentukan pribadi anak.
Keluarga merupakan wadah tempat bimbingan dan latihan anak selama
kehidupan mereka. Diharapkan dari keluarga lah seseorang dapat menempuh
kehidupannya dengan matang dan dewasa dan penuh mawaddah (cinta) dan
rahmah (sayang).
Nikmat berumah tangga adalah salah satu
diantara berbagai kenikmatan yang dianugerahkan Allah kepada manusia.
Hanya dalam ikatanpernikahan (yang baik) akanterjadi saling berbagi
pengalaman dan perasaan, serta saling memenuhi kebutuhan fisik dan
mental yang paling sah, spontan dan murni. Kekeluargaan pun menjadi
lebih luas melaluipergaulan dengan keluarga pasangan masing-masing.
Bahkan orangtua pun menjadi bertambah jumlahnya, karena mertua setara
denganorangtua. Disamping itu peluang untuk mengembangkan diri danmeraih
kebahagiaan terdapat dalam ikatan pernikahan yang puncaknyayaitu
kelahiran anak-anak sebagai buah cinta kasih.Kebahagiaan tidak datang
begitu saja, tetapi merupakan ganjaran dari kerja keras meraih makna dan
tujuan hidup yang didasari keimanan, kesetiaan, kemanfaatan, dan
kekeluargaan.Pada akhirnya, keluarga yang baik akanmenjadi media untuk
menciptakan masyarakat yang baik pula. Selanjutnya, masyarakat yang
baikakan menciptakan negara yang baik dan sejahtera.
Marâji’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar