Cara-Cara Menghadapi Cobaan Dalam Hidup
Setiap manusia yang hidup di dunia ini tak akan pernah luput dari
cobaan. Dengan cobaan itu dapat diketahui sampai sejauh mana kualitas
iman seseorang kepada Allah.
Kiranya kita tak perlu berkecil hati jika suatu saat kita mendapat
cobaan dari Allah. Karena itu bukan berarti Allah telah benci atau tidak
peduli lagi terhadap kita. Justru cobaan-cobaan itu membuktikan, bahwa
Allah sayang kepada kita. Semakin kita disayang, semakin berat pula
cobaan yang kita terima.
Hal diatas dapat kita buktikan sendiri melalui kisah-kisah para Nabi,
yang walaupun beliau-beliau (para Nabi) itu merupakan kekasih-kekasih
Allah, namun sungguh berat cobaan yang diberikan kepada mereka, jauh
lebih berat dari yang kita terima. Kita bisa membaca (dalam Al-Qur'an)
kisah Nabi ibrahim yang disuruh menyembelih putranya sendiri yang sangat
dicintainya.
Kisah Nabi Ayyub yang dimusnahkan seluruh harta kekayaannya dan
keturunannya serta terserang penyakit menular yang sangat menjijikan
sehingga tak seorangpun kaumnya yang mau mendekat kepadanya.
Kisah Nabi Nuh yang selama ratusan tahun (Nabi Nuh berusia 950) berdakwa
tapi hanya mendapat pengikut yang amat sedikit (70 atau 80 orang saja).
Kisah Nabi Muhammad yang dilempari kotoran unta dan batu hingga berdarah
mukanya dan diboikot perekonomian untuknya dan keluarganya hingga
kekurangan bahan makanan, dan sebagainya.
Kalau kita mau bersabar sejenak dan berpikir secara lebih mendalam,
kiranya kita akan mendapati kenyataan, bahwa di balik cobaan-cobaan yang
nampaknya tidak menyenangkan itu terdapat hikmah dan kebaikan yang
besar.
Hal ini sebagai mana yang termaktub dalam Al-Qur'an Surat An-Nisa' Ayat 19, yang artinya:
"BOLEH JADI KAMU TIDAK MENYUKAI SESUATU, PADAHAL ALLAH MENJADIKAN PADANYA KEBAIKAN YANG BANYAK"
Menurut kebanyakan ahli filsafat (filosof) islam, pengertian sabar itu terbagi menjadi 5 macam, yaitu:
1.
Dalam beribadah.
Yakni dengan tekun dan telaten mengerjakan setiap rukun, syarat-syarat
dan tata tertib ibadah yang sedang dikerjakannya. Menurut Imam
Al-Ghozali, ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan
suatu ibadah, yaitu:
1. Harus didahului niat yang suci, ikhlas semata-mata karena Allah
2. Memperhatikan dan memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan, dan
juga hal-hal lain baik yang wajib maupun yang sunnat.
3. Tidak bersifat Riya' setelah melaksanakan ibadah tersebut.
2.
Sabar di timpa bencana.
Yakni teguh hati dan menerima dengan ikhlas ketika tertimpa suatu
bencana. Karena sabar atau tidak sabar, bencana tetap akan terjadi.
Tetapi dengan bersikap sabar, maka beban yang harus ditanggung akan
terasa lebih ringan.
3.
Sabar terhadap kehidupan dunia.
Yakni tidak mudah tergoda oleh tipu daya dunia, yang kalau dilihat
secara lahiriyah penuh dengan kenikmatan dan kesenangan yang memabukan
(dapat melupakan manusia kepada tujuan hidup yang sebenarnya). Padahal
sebenarnya dunia ini hanya merupakan alat, bukan tujuan.
4.
Sabar terhadap maksiat.
Yakni mengendalikan diri sendiri dan juga orang lain dari melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap syariat agama.
5.
Sabar dalam berjuang.
Yakni dengan menyadari sepenuhnya, bahwa perjuangan atau usaha itu ada
pasang surutnya. Sehingga tidak sombong atau takabbur jika sedang
pasang, dan tidak berputus asa jika sedang surut.
Sumber: http://www.facebook.com/notes/abdul-aziz-ar-rauuf/cara-cara-menghadapi-cobaan-dalam-hidup/400890919120
Dari ceramah KH Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym), yang diadakan di masjid Al-Hikmah, Den Haag pada bulan Februari 2012
Berikut rangkuman ceramah Aa Gym mengenai lima cara sederhana menghadapi cobaan hidup yang ingin saya bagi.
1. Siap menerima suatu cobaan
Kita terkadang lupa bahwa pangkal dari masalah kita bukan masalah itu sendiri, tetapi bagaimana menyikapi/menerima suatu cobaan.
Seperti menghadapi suatu ujian. Apabila kita mempersiapkan diri kita
sebaik-baiknya, maka umumnya kita akan mendapatkan hasil yang baik pula.
Tetapi kita juga harus ingat bahwa tidak semua yang kita inginkan akan
terwujud. Oleh karena itu, kita harus siap pula dengan kegagalan dan
jangan hanya siap dengan kesuksesan. Semakin siap kita untuk menghadapi
suatu kegagalan, semakin ringan masalah tersebut akan dirasakan oleh
kita. Mulailah dengan niat yang baik, ikhtiar semampu kita, tapi jangan
terkunci oleh keinginan dan nafsu kita, serahkan semuanya kepada Allah
SWT.
2. Kalau sudah terjadi, kuncinya adalah ridho/diterima
Seringkali saat mengalami suatu
masalah/musibah, kita cenderung berpikir “seandainya saya pergi lebih
cepat”, “seandainya kita belajar lebih giat”, dsb. Hal itu menandakan
bahwa kita adalah orang yang tidak bisa menerima kenyataan. Hal ini
dapat menimbulkan perasaan tidak tenang dalam menghadapi berbagai cobaan
serta masalah hidup. Apabila kita mencoba berpikir lebih dalam, banyak orang menderita bukan karena kenyataan yang terjadi tetapi karena tidak bisa menerima kenyataan tersebut.
Oleh karena itu, apabila kita sudah siap untuk menerima berbagai cobaan
dari awal dan bukan di akhir, InsyaAllah kita akan menjadi lebih tenang
dan lebih siap dalam menghadapi berbagai ujian dalam hidu kita.
3. Jangan mempersulit diri, “mudahkan urusanmu”
Apabila kita pikirkan baik-baik. Setiap kita mendapatkan masalah, pada umumnya kita menderita karena pikiran kita sendiri.
Banyak orang menderita karena memikirkan yang belum ada dan bukan
mensyukuri yang sudah ada. Orang tersebut bukan kurang rizki tetapi
kurang iman. Kita jangan takut tidak akan mempunyai rizki yang cukup,
tapi takut tidak bisa mensyukuri nikmat yang sudah kita miliki! Kita
harus ingat bahwa kita dihormati orang lain bukan karena kita mulia,
tapi karena Allah SWT menutupi dosa, aib, dan kesalahan kita!
Aa gym pun mengatakan terdapat
beberapa babak dalam hidupnya: babak ngetop, babak belur, hingga babak
baru. Beliau juga berkata bahwa pujian jauh lebih berbahaya dibandingkan
dengan dicaci maki. Karena pujian mendekatkan kita ke kemunafikan.
Namun, dari hal tersebut beliau menyadari bahwa memang terkadang inilah
ujian yang diberikan oleh Allah SWT terhadap hambaNya untuk menaikkan
derajatnya. Jangan membebani diri kita dengan berbagai masalah yang
sudah ada.
4. Evaluasi diri (bertaubat)
“Apa saja ni’mat yang kamu
peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka
dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada
segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (QS An-Nisa ayat 79)
Terkadang kita lalai dalam
mengevaluasi diri kita setelah tertimpa masalah/musibah. Kita cenderung
mengedepankan emosi serta mencari-cari kesalahan orang lain. Kita harus
ingat bahwa sebagai manusia, kita tidak pernah luput dari dosa. Cara
untuk menghilangkan/megurangi dosa tersebut tentu dengan bertaubat.
Dalam menghadapi berbagai masalah pun kita harus ingat bahwa tidak ada satupun masalah yang tidak ada solusinya.
Tidak ada guru yang memberikan soal tanpa ada kunci jawaban. Tidak ada
seseorang membuat lubang kunci tanpa pasangan kuncinya. Salah satu jalan
utama untuk mendapatkan jawaban dari masalah kita adalah dengan
bertaubat! Pada intinya adalah kita harus instropeksi terhadap kesalahan
diri kita sendiri dan jangan melihat/mencari kesalahan orang lain.
Seperti kisah Nabi Adam a.s. yang memakan buah terlarang dan akhirnya
dikirim ke dunia sebagai hukuman. Beliau menjadi mulia karena bertaubat
dan bukan karena menyalahkan iblis yang telah membujuknya. Begitu juga
dengan Nabi Yunus a.s. yang dimakan oleh ikan paus karena sempat lalai
terhadap umatnya. Beliau pun selamat karena bertaubat.
5. Cukuplah Allah SWT sebagai penolong kita (hanya bersandar kepada Allah SWT)
- Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh,
- dari kejahatan makhluk-Nya,
- dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,
- dan dari kejahatan wanita-wanita tukangsihir yang menghembus pada buhul-buhul,
- dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki”
QS Al Falaq 1-5
Seringkali sebagai manusia, kita
bersandar kepada jabatan, kekayaan, suami, istri, orangtua,
saudara/kerabat dengan jabatan tinggi, dsb. Namun satu hal yang tidak
kita sadari adalah kita sering bergantung kepada sesuatu yang tidak kekal.
Kaya bisa menjadi miskin, kerabat bisa meninggal atau hubungan bisa
menjadi renggang dan jabatan seseorang bisa hilang sewaktu-waktu. Begitu
semua hal tersebut diambil/hilang kita akan kehilangan tempat
bergantung. Namun apabila kita bersandar kepada Allah SWT yang kekal,
kita tidak akan kehilangan apa-apa karena kita bersandar kepada yang
kekal dan pemilik alam semesta. Hal ini pun tercermin dari cara Nabi
Muhammad SAW mengajarkan agama islam. Rasulullah menyebarkan agama islam
dengan mengajarkan ilmu tauhid terlebih dahulu, yaitu ilmu mengenal
Allah SWT. Baru setelah itu Rasulullah mengajarkan mengenai solat dan
ibadah-ibadah lainnya. Dari hal ini kita bisa melihat bahwa yang
terpenting adalah mengenal Allah SWT terlebih dahulu.
Akhirul kata, derajat seseorang ditentukan pula oleh masalah yang dialaminya. Semakin tinggi derajat/mulia seseorang semakin berat pula masalah yang akan dihadapinya. Yang menentukan apakah kita akan menjadi lebih mulia atau tidak adalah bagaimana kita menyikapi dan mengevaluasi diri sesudahnya.
Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada
hamba-hambaNya dalam menghadapi dan menyikapi berbagai masalah yang
kita hadapi, Amin …
Wassalamualaikum.
Jurus Jitu Mendidik Anak
Prolog
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Di bulan Ramadhan tahun ini, kami mendapat amanah untuk mengimami shalat Tarawih dan Subuh di Masjid Agung
Darussalam Purbalingga selama lima hari. Masih dalam rangkaiannya, kami ditugaskan untuk memberikan kuliah Tarawih
dan kuliah Subuh. Kebetulan materi pengajian Tarawih seputar pilar-pilar penting dalam mendidik anak.
Karena banyaknya permintaan dari jama’ah, bahan materi tersebut kami kumpulkan dalam bentuk makalah yang kami beri judul
“Jurus Jitu Mendidik Anak”. Tentu masih
terlalu jauh dari format sempurna, namun semoga yang sederhana ini
bisa bermanfaat bagi kita semua.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih
kepada seluruh pihak -yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu- yang
turut andil dalam amal salih ini.
Tegur sapa para pembaca kami nantikan. Selamat menelaah!
JURUS PERTAMA: MENDIDIK ANAK PERLU ILMU
Ilmu merupakan kebutuhan primer setiap
insan dalam setiap lini kehidupannya, termasuk dalam mendidik anak.
Bahkan kebutuhan dia terhadap ilmu dalam mendidik anak, melebihi
kebutuhannya terhadap ilmu dalam menjalankan pekerjaannya.
Namun, realita berkata lain. Rupanya
tidak sedikit di antara kita mempersiapkan ilmu untuk kerja lebih banyak
daripada ilmu untuk menjadi orangtua. Padahal tugas kita menjadi
orangtua dua puluh empat jam sehari semalam, termasuk saat tidur,
terjaga serta antara sadar dan tidak. Sementara tugas kita dalam
pekerjaan, hanya sebatas jam kerja.
Betapa banyak suami yang menyandang
gelar bapak hanya karena istrinya melahirkan. Sebagaimana banyak wanita
disebut ibu semata-mata karena dialah yang melahirkan. Bukan karena
mereka menyiapkan diri menjadi orangtua. Bukan pula karena mereka
memiliki kepatutan sebagai orangtua.
Padahal, menjadi orangtua harus
berbekal ilmu yang memadai. Sekadar memberi mereka uang dan memasukkan
di sekolah unggulan, tak cukup untuk membuat anak kita menjadi manusia
unggul. Sebab, sangat banyak hal yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Uang memang bisa membeli tempat tidur yang mewah, tetapi bukan tidur yang lelap.
Uang bisa membeli rumah yang lapang, tetapi bukan kelapangan hati untuk tinggal di dalamnya.
Uang juga bisa membeli pesawat televisi
yang sangat besar untuk menghibur anak, tetapi bukan kebesaran jiwa
untuk memberi dukungan saat mereka terempas.
Betapa banyak anak-anak yang rapuh
jiwanya, padahal mereka tinggal di rumah-rumah yang kokoh bangunannya.
Mereka mendapatkan apa saja dari orangtuanya, kecuali perhatian,
ketulusan dan kasih sayang!
Ilmu apa saja yang dibutuhkan?
Banyak jenis ilmu yang dibutuhkan
orangtua dalam mendidik anaknya. Mulai dari ilmu agama dengan berbagai
varianya, hingga ilmu cara berkomunikasi dengan anak.
Jenis ilmu agama pertama dan utama
yang harus dipelajari orangtua adalah akidah. Sehingga ia bisa
menanamkan akidah yang lurus dan keimanan yang kuat dalam jiwa anaknya.
Nabi shallallahu’alaihiwasallam mencontohkan bagaimana membangun pondasi tersebut dalam jiwa anak, dalam salah satu sabdanya untuk Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,
“إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّه”.
“Jika engkau memohon, mohonlah kepada
Allah. Dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah”. HR.
Tirmidzi dan beliau berkomentar, “Hasan sahih”.
Selanjutnya ilmu tentang cara ibadah, terutama shalat dan cara bersuci. Demi merealisasikan wasiat Nabi shallallahu’alaihiwasallam untuk para orangtua,
“مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْر”.
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk
shalat saat berumur tujuh tahun, dan pukullah jika enggan saat mereka
berumur sepuluh tahun”. HR. Abu Dawud dan dinilai sahih oleh Syaikh
al-Albany.
Bagaimana mungkin orangtua akan
memerintahkan shalat pada anaknya, jikalau ia tidak mengerti tatacara
shalat yang benar. Mampukah orang yang tidak mempunyai sesuatu, untuk
memberikan sesuatu kepada orang lain?
Berikutnya ilmu tentang akhlak, mulai
adab terhadap orangtua, tetangga, teman, tidak lupa adab keseharian si
anak. Bagaimana cara makan, minum, tidur, masuk rumah, kamar mandi,
bertamu dan lain-lain.
Dalam hal ini Nabi shallallahu’alaihiwasallam mempraktekkannya sendiri, antara lain ketika beliau bersabda menasehati seorang anak kecil,
“يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ”.
“Nak, ucapkanlah bismillah (sebelum engkau makan) dan gunakanlah tangan kananmu”. HR. Bukhari dan Muslim dari Umar bin Abi Salamah.
Yang tidak kalah pentingnya adalah:
ilmu seni berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak. Bagaimana kita
menghadapi anak yang hiperaktif atau sebaliknya pendiam. Bagaimana
membangun rasa percaya diri dalam diri anak. Bagaimana memotivasi
mereka untuk gemar belajar. Bagaimana menumbuhkan bakat yang ada dalam
diri anak kita. Dan berbagai konsep-konsep dasar pendidikan anak
lainnya.
Ayo belajar!
Semoga pemaparan singkat di atas bisa
menggambarkan pada kita urgensi ilmu dalam mendidik anak. Sehingga
diharapkan bisa mendorong kita untuk terus mengembangkan diri,
meningkatkan pengetahuan kita, menghadiri majlis taklim, membaca
buku-buku panduan pendidikan. Agar kita betul-betul menjadi orangtua
yang sebenarnya, bukan sekedar orang yang lebih tua dari anaknya!
JURUS KEDUA: MENDIDIK ANAK PERLU KESALIHAN ORANGTUA
Tentu Anda masih ingat kisah ‘petualangan’ Nabi Khidir dengan Nabi Musa ‘alaihimassalam. Ya,
di antara penggalan kisahnya adalah apa yang Allah sebutkan dalam
surat al-Kahfi. Manakala mereka berdua memasuki suatu kampung dan
penduduknya enggan untuk sekedar menjamu mereka berdua. Sebelum
meninggalkan kampung tersebut, mereka menemukan rumah yang hampir
ambruk. Dengan ringan tangan Nabi Khidir memperbaiki tembok rumah
tersebut, tanpa meminta upah dari penduduk kampung. Nabi Musa
terheran-heran melihat tindakannya. Nabi Khidir pun beralasan, bahwa
rumah tersebut milik dua anak yatim dan di bawahnya terpendam harta
peninggalan orangtua mereka yang salih. Allah berkehendak menjaga harta
tersebut hingga kedua anak tersebut dewasa dan mengambil manfaat dari
harta itu.
Para ahli tafsir menyebutkan, bahwa di
antara pelajaran yang bisa dipetik dari kisah di atas adalah: Allah
akan menjaga keturunan seseorang manakala ia salih, walaupun ia telah
meninggal dunia sekalipun.
Subhânallâh, begitulah
dampak positif kesalihan orang tua! Sekalipun telah meninggal dunia
masih tetap dirasakan oleh keturunannya. Bagaimana halnya ketika ia
masih hidup?? Tentu lebih besar dan lebih besar lagi dampak positifnya.
Urgensi kesalihan orangtua dalam mendidik anak
Kita semua mempunyai keinginan dan
cita-cita yang sama. Ingin agar keturunan kita menjadi anak yang salih
dan salihah. Namun, terkadang kita lupa bahwa modal utama untuk
mencapai cita-cita mulia tersebut ternyata adalah: kesalihan dan
ketakwaan kita selaku orangtua. Alangkah lucunya, manakala kita
berharap anak menjadi salih dan bertakwa, sedangkan kita sendiri
berkubang dalam maksiat dan dosa!
Kesalihan jiwa dan perilaku orangtua
mempunyai andil yang sangat besar dalam membentuk kesalihan anak. Sebab
ketika si anak membuka matanya di muka bumi ini, yang pertama kali ia
lihat adalah ayah dan bundanya. Manakala ia melihat orangtuanya berhias
akhlak mulia serta tekun beribadah, niscaya itulah yang akan terekam
dengan kuat di benaknya. Dan insyaAllah itupun juga yang akan
ia praktekkan dalam kesehariannya. Pepatah mengatakan: “buah tidak akan
jatuh jauh dari pohonnya”. Betapa banyak ketakwaan pada diri anak
disebabkan ia mengikuti ketakwaan kedua orangtuanya atau salah seorang
dari mereka. Ingat karakter dasar manusia, terutama anak kecil, yang
suka meniru!
Beberapa contoh aplikasi nyatanya
Manakala kita menginginkan anak kita
rajin untuk mendirikan shalat lima waktu, gamitlah tangannya dan
berangkatlah ke masjid bersama. Bukan hanya dengan berteriak
memerintahkan anak pergi ke masjid, sedangkan Anda asyik menonton
televisi.
Jika Anda berharap anak rajin membaca
al-Qur’an, ramaikanlah rumah dengan lantunan ayat-ayat suci al-Qur’an
yang keluar dari lisan ayah, ibu ataupun kaset dan radio. Jangan malah
Anda menghabiskan hari-hari dengan membaca koran, diiringi lantunan
langgam gendingan atau suara biduanita yang mendayu-dayu!
Kalau Anda menginginkan anak jujur
dalam bertutur kata, hindarilah berbohong sekecil apapun. Tanpa
disadari, ternyata sebagai orang tua kita sering membohongi anak untuk
menghindari keinginannya. Salah satu contoh pada saat kita terburu-buru
pergi ke kantor di pagi hari, anak kita meminta ikut atau mengajak
jalan-jalan mengelilingi perumahan. Apa yang kita lakukan? Apakah kita
menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih
berbohong dengan mengatakan, “Bapak hanya sebentar kok, hanya ke depan
saja ya. Sebentaaar saja ya sayang…”. Tapi ternyata, kita malah pulang
malam!
Dalam contoh di atas, sejatinya kita telah berbohong kepada anak, dan itu akan ditiru olehnya.
Terus apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berkatalah dengan jujur kepada anak. Ungkapkan dengan lembut dan penuh
kasih serta pengertian, “Sayang, bapak mau pergi ke kantor. Kamu tidak
bisa ikut. Tapi kalo bapak ke kebun binatang, insyaAllah kamu bisa ikut”.
Kita tak perlu merasa khawatir dan
menjadi terburu-buru dengan keadaan ini. Pastinya akan membutuhkan waktu
lebih untuk memberi pengertian kepada anak karena biasanya mereka
menangis. Anak menangis karena ia belum memahami keadaan mengapa orang
tuanya harus selalu pergi di pagi hari. Kita perlu bersabar dan
melakukan pengertian kepada mereka secara terus menerus. Perlahan anak
akan memahami mengapa orangtuanya selalu pergi di pagi hari dan bila
pergi bekerja, anak tidak bisa ikut.
Anda ingin anak jujur? Mulailah dari diri Anda sendiri!
Sebuah renungan penutup
Tidak ada salahnya kita putar ingatan
kepada beberapa puluh tahun ke belakang, saat sarana informasi dan
telekomunikasi masih amat terbatas, lalu kita bandingkan dengan zaman
ini dan dampaknya yang luar biasa untuk para orangtua dan anak.
Dulu, masih banyak ibu-ibu yang rajin
mengajari anaknya mengaji, namun sekarang mereka telah sibuk dengan
acara televisi. Dahulu ibu-ibu dengan sabar bercerita tentang kisah
para nabi, para sahabat hingga teladan dari para ulama, sekarang mereka
lebih nyaman untuk menghabiskan waktu berfacebookan dan akrab
dengan artis di televisi. Dulu bapak-bapak mengajari anaknya sejak
dini tatacara wudhu, shalat dan ibadah primer lainnya, sekarang mereka
sibuk mengikuti berita transfer pemain bola!
Bagaimana kondisi anak-anak saat ini,
dan apa yang akan terjadi di negeri kita lima puluh tahun ke depan, jika
kondisi kita terus seperti ini??
Jika kita tidak ingin menjumpai mimpi
buruk kehancuran negeri ini, persiapkan generasi muda sejak sekarang.
Dan untuk merealisasikan itu, mulailah dengan memperbaiki diri kita
sendiri selaku orangtua! Sebab mendidik anak memerlukan kesalihan
orangtua.
Semoga Allah senantiasa meridhai setiap langkah baik kita, amien…
JURUS KETIGA: MENDIDIK ANAK PERLU KEIKHLASAN
Ikhlas merupakan ruh bagi setiap amalan. Amalan tanpa disuntik keikhlasan bagaikan jasad yang tak bernyawa.
Termasuk jenis amalan yang harus dilandasi keikhlasan adalah mendidik anak. Apa maksudnya?
Maksudnya adalah: Rawat dan didik anak dengan penuh ketulusan dan niat ikhlas semata-mata mengharapkan keridhaan Allah ta’ala.
Canangkan niat semata-mata untuk Allah
dalam seluruh aktivitas edukatif, baik berupa perintah, larangan,
nasehat, pengawasan maupun hukuman. Iringilah setiap kata yang kita
ucapkan dengan keikhlasan..
Bahkan dalam setiap perbuatan yang
kita lakukan untuk merawat anak, entah itu bekerja membanting tulang
guna mencari nafkah untuknya, menyuapinya, memandikannya hingga
mengganti popoknya, niatkanlah semata karena mengharap ridha Allah.
Apa sih kekuatan keikhlasan?
Ikhlas memiliki dampak kekuatan yang begitu dahsyat. Di antaranya:
- Dengan ketulusan, suatu aktivitas akan terasa ringan.
Proses membuat dan mendidik anak, mulai dari mengandung, melahirkan,
menyusui, merawat, membimbing hingga mendidik, jelas membutuhkan waktu
yang tidak sebentar. Puluhan tahun! Tentu di rentang waktu yang cukup
panjang tersebut, terkadang muncul dalam hati rasa jenuh dan kesal
karena ulah anak yang kerap menjengkelkan. Seringkali tubuh terasa
super capek karena banyaknya pekerjaan; cucian yang menumpuk, berbagai
sudut rumah yang sebentar-sebentar perlu dipel karena anak ngompol di
sana sini dan tidak ketinggalan mainan yang selalu berserakan dan
berantakan di mana-mana.Anda ingin seabreg pekerjaan itu terasa ringan?
Jalanilah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan! Sebab seberat apapun
pekerjaan, jika dilakukan dengan ikhlas insyaAllah akan terasa
ringan, bahkan menyenangkan. Sebaliknya, seringan apapun pekerjaan,
kalau dilakukan dengan keluh kesah pasti akan terasa seberat gunung dan
menyebalkan.
- Dengan keikhlasan, ucapan kita akan berbobot.
Sering kita mencermati dan merasakan bahwa di antara kata-kata kita,
ada yang sangat membekas di dada anak-anak yang masih belia hingga
mereka dewasa kelak. Sebaliknya, tak sedikit ucapan yang bahkan kita
teriakkan keras-keras di telinganya, ternyata berlalu begitu saja bagai
angin malam yang segera hilang kesejukannya begitu mentari pagi
bersinar.Apa yang membedakan? Salah satunya adalah kekuatan yang
menggerakkan kata-kata kita. Jika Engkau ucapkan kata-kata itu untuk
sekedar meluapkan amarah, maka anak-anak itu akan mendengarnya sesaat
dan sesudah itu hilang tanpa bekas. Namun jika Engkau ucapkan dengan
sepenuh hati sambil mengharapkan turunnya hidayah untuk anak-anak yang
Engkau lahirkan dengan susah payah itu, insya Allah akan
menjadi perkataan yang berbobot.Sebab bobot kata-kata kita kerap
bersumber bukan dari manisnya tutur kata, melainkan karena kuatnya
penggerak dari dalam dada; iman kita dan keikhlasan kita…
- Dengan keikhlasan anak kita akan mudah diatur.
Jangan pernah meremehkan perhatian dan pengamatan anak kita. Anak yang
masih putih dan bersih dari noda dosa akan begitu mudah merasakan
suasana hati kita.Dia bisa membedakan antara tatapan kasih sayang
dengan tatapan kemarahan, antara dekapan ketulusan dengan pelukan
kejengkelan, antara belaian cinta dengan cubitan kesal. Bahkan ia pun
bisa menangkap suasana hati orangtuanya, sedang tenang dan damaikah,
atau sedang gundah gulana?Manakala si anak merasakan ketulusan hati
orangtuanya dalam setiap yang dikerjakan, ia akan menerima arahan dan
nasehat yang disampaikan ayah dan bundanya, karena ia menangkap bahwa
segala yang disampaikan padanya adalah semata demi kebaikan dirinya.
- Dengan keikhlasan kita akan memetik buah manis pahala. Keikhlasan
bukan hanya memberikan dampak positif di dunia, namun juga akan
membuahkan pahala yang amat manis di alam sana. Yang itu berujung
kepada berkumpulnya orangtua dengan anak-anaknya di negeri keabadian;
surga Allah yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan.
وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
Artinya: “Orang-orang yang
beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan,
Kami akan pertemukan mereka dengan anak cucu mereka”. QS. Ath-Thur: 21.
Dipertemukan di mana? Di surga Allah jalla wa ‘ala!
Mulailah dari sekarang!
Latih dan biasakan diri untuk ikhlas dari sekarang, sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan.
Kalau Engkau bangun di tengah malam
untuk membuatkan susu buat anakmu, aduklah ia dengan penuh keikhlasan
sambil mengharap agar setiap tetes yang masuk kerongkongannya akan
menyuburkan setiap benih kebaikan dan menyingkirkan setiap bisikan yang
buruk.
Kalau Engkau menyuapkan makanan
untuknya, suapkanlah dengan penuh keikhlasan sembari memohon kepada
Allah agar setiap makanan yang mengalirkan darah di tubuh mereka akan
mengokohkan tulang-tulang mereka, membentuk daging mereka dan
membangkitkan jiwa mereka sebagai penolong-penolong agama Allah.
Sehingga dengan itu, semoga setiap
suapan yang masuk ke mulut mereka akan membangkitkan semangat dan
meninggikan martabat. Mereka akan bersemangat untuk senantiasa menuntut
ilmu, beribadah dengan tekun kepada Allah dan meninggikan agama-Nya. Amîn yâ mujîbas sâ’ilîn…
JURUS KEEMPAT: MENDIDIK ANAK PERLU KESABARAN
Sabar merupakan salah satu syarat
mutlak bagi mereka yang ingin berhasil mengarungi kehidupan di dunia.
Kehidupan yang tidak lepas dari susah dan senang, sedih dan bahagia,
musibah dan nikmat, menangis dan tertawa, sakit dan sehat, lapar dan
kenyang, rugi dan untung, miskin dan kaya, serta mati dan hidup.
Di antara episode perjalanan hidup
yang membutuhkan kesabaran ekstra adalah masa-masa mendidik anak. Sebab
rentang waktunya tidak sebentar dan seringkali anak berperilaku yang
tidak sesuai dengan harapan kita.
Contoh aplikasi kesabaran
- Sabar dalam membiasakan perilaku baik terhadap anak. Anak bagaikan kertas yang masih putih, tergantung siapa yang menggoreskan lukisan di atasnya. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menggambarkan hal itu dalam sabdanya,
“مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِه”
“Setiap bayi lahir dalam keadaan
fitrah. Orang tuanya lah yang akan menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau
Majusi”. HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
Andaikan sejak kecil anak dibiasakan berperilaku baik, mulai dari taat beribadah hingga adab mulia dalam keseharian, insyaAllah hal itu akan sangat membekas dalam dirinya. Sebab mendidik di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu.
Mengukir di atas batu membutuhkan
kesabaran dan keuletan, namun jika ukiran tersebut telah jadi niscaya
ia akan awet dan tahan lama.
- Sabar dalam menghadapi pertanyaan anak.
Menghadapi pertanyaan anak, apalagi yang baru saja mulai tumbuh dan
menginginkan untuk mengetahui segala sesuatu yang ia lihat, memerlukan
kesabaran yang tidak sedikit. Terkadang timbul rasa jengkel dengan
pertanyaan anak yang tidak ada habis-habisnya, hingga kerap kita
kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaannya.Sesungguhnya
kesediaan anak untuk bertanya kepada kita, ‘seburuk’ apa pun pertanyaan
yang ia lontarkan, merupakan pertanda bahwa mereka memberikan
kepercayaannya kepada kita untuk menjawab. Maka jalan terbaik adalah
menghargai kepercayaannya dengan tidak mematikan kesediaannya untuk
bertanya, serta memberikan jawaban yang mengena dan menghidupkan
jiwa.Jika kita ogah-ogahan untuk menjawab pertanyaan anak atau menjawab
sekenanya atau bahkan justru menghardiknya, hal itu bisa berakibat
fatal. Anak tidak lagi percaya dengan kita, sehingga ia akan mencari
orang di luar rumah yang dianggapnya bisa memuaskan
pertanyaan-pertanyaan dia. Dan tidak ada yang bisa menjamin bahwa orang
yang ditemuinya di luar adalah orang baik-baik! Ingat betapa rusaknya
pergaulan di luar saat ini!
- Sabar menjadi pendengar yang baik.
Banyak orang tua adalah pendengar yang buruk bagi anak-anaknya. Bila
ada suatu masalah yang terjadi pada anak, orangtua lebih suka menyela,
langsung menasihati tanpa mau bertanya permasalahannya serta asal-usul
kejadiannya.Salah satu contoh, anak kita baru saja pulang sekolah yang
mestinya siang ternyata baru pulang sore hari. Kita tidak mendapat
pemberitahuan apa pun darinya atas keterlambatan tersebut. Tentu saja
kita merasa kesal menunggu, sekaligus juga khawatir. Lalu pada saat
anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan
serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap kali anak hendak
berbicara, kita selalu memotongnya, dengan ungkapan, “Sudah-sudah tidak
perlu banyak alasan”, atau “Ah, papa/mama tahu kamu pasti main ke
tempat itu lagi kan?!”. Akibatnya, ia malah tidak mau bicara dan marah
pada kita.Pada saat seperti itu, yang sangat dibutuhkan oleh seorang
anak adalah ingin didengarkan terlebih dahulu dan ingin diperhatikan.
Mungkin keterlambatannya ternyata disebabkan adanya tugas mendadak dari
sekolah. Ketika anak tidak diberi kesempatan untuk berbicara, ia
merasa tidak dihargai dan akhirnya dia juga berbalik untuk tidak mau
mendengarkan kata-kata kita.Yang sebaiknya dilakukan adalah, kita
memulai untuk menjadi pendengar yang baik. Berikan kepada anak waktu
yang seluas-luasnya untuk mengungkapkan segalanya. Bersabarlah untuk
tidak berkomentar sampai saatnya tiba. Ketika anak sudah selesai
menjelaskan duduk permasalahan, barulah Anda berbicara dan menyampaikan
apa yang ingin Anda sampaikan.
- Sabar manakala emosi memuncak.
Hendaknya kita tidak memberikan sanksi atau hukuman pada anak ketika
emosi kita sedang memuncak. Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa pun
yang keluar dari mulut kita, cenderung untuk menyakiti dan menghakimi,
tidak untuk menjadikan anak lebih baik.Yang seyogyanya dilakukan
adalah: bila kita dalam keadaan sangat marah, segeralah menjauh dari
anak. Pilihlah cara yang tepat untuk menurunkan amarah kita dengan
segera. Bisa dengan mengamalkan tuntunan Nabi shallallahu’alaihiwasallam; yakni
berwudhu.Jika kita bertekad untuk tetap memberikan sanksi, tundalah
sampai emosi kita mereda. Setelah itu pilih dan susunlah bentuk hukuman
yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuatnya.
Ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan untuk menyakiti.Berakit-rakit ke huluPepatah
Arab mengatakan, “Sabar bagaikan buah brotowali, pahit rasanya, namun
kesudahannya lebih manis daripada madu”.Sabar dalam mendidik anak
memang terasa berat, namun tunggulah buah manisnya kelak di dunia
maupun akhirat. Di dunia mereka akan menjadi anak-anak yang menurut
kepada orangtuanya insyaAllah. Dan manakala kita telah masuk di
alam akhirat mereka akan terus mendoakan kita, sehingga curahan pahala
terus mengalir deras. Semoga…
JURUS KELIMA: MENDIDIK ANAK PERLU IRINGAN DOA
Beberapa saat lalu saya mampir shalat
Jum’at di masjid salah satu perumahan di bilangan Sokaraja Banyumas. Di
sela-sela khutbahnya, khatib bercerita tentang kejadian yang menimpa
sepasang suami istri. Keduanya terkena stroke, namun sudah sekian bulan
tidak ada satupun di antara anaknya yang datang menjenguk. Manakala
dibesuk oleh si khatib, sang bapak bercerita sambil menangis terisak,
“Mungkin Allah telah mengabulkan doa saya. Sekarang inilah saya
merasakan akibat dari doa saya! Dahulu saya selalu berdoa agar
anak-anak saya jadi ‘orang’. Berhasil, kaya, sukses dst. Benar,
ternyata Allah mengabulkan seluruh permintaan saya. Semua anak saya
sekarang menjadi orang kaya dan berhasil. Mereka tinggal di berbagai
pulau di tanah air, jauh dari saya. Memang mereka semua mengirimkan uang
dalam jumlah yang tidak sedikit dan semua menelpon saya untuk segera
berobat. Namun bukan itu yang saya butuhkan saat ini. Saya ingin
belaian kasih sayang tangan mereka. Saya ingin dirawat dan ditunggu
mereka, sebagaimana dulu saya merawat mereka”.
Ya, berhati-hatilah Anda dalam memilih
redaksi doa, apalagi jika itu ditujukan untuk anak Anda. Tidak ada
redaksi yang lebih baik dibandingkan redaksi doa yang diajarkan dalam
al-Qur’an dan Hadits. “Robbanâ hablanâ min azwâjinâ wa dzurriyyâtinâ qurrota a’yun, waj’alnâ lil muttaqîna imâmâ” (Wahai
Rabb kami, karuniakanlah pada kami pasangan dan keturunan yang
menyejukkan pandangan mata. Serta jadikanlah kami imam bagi kaum
muttaqin). QS. Al-Furqan: 74.
Seberapa besar sih kekuatan doa?
Sebesar apapun usaha orangtua dalam merawat, mendidik, menyekolahkan dan mengarahkan anaknya, andaikan Allah ta’ala
tidak berkenan untuk menjadikannya anak salih, niscaya ia tidak akan
pernah menjadi anak salih. Hal ini menunjukkan betapa besar kekuasaan
Allah dan betapa kecilnya kekuatan kita. Ini jelas memotivasi kita
untuk lebih membangun ketergantungan dan rasa tawakkal kita kepada
Allah jalla wa ‘ala. Dengan cara, antara lain, memperbanyak
menghiba, merintih, memohon bantuan dan pertolongan dari Allah dalam
segala sesuatu, terutama dalam hal mendidik anak.
Secara khusus, doa orangtua untuk anaknya begitu spesial. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan hal itu dalam sabdanya,
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Tiga doa yang akan dikabulkan tanpa ada keraguan sedikitpun. Doa orangtua, doa musafir dan doa orang yang dizalimi”. HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albany.
Sejak kapan kita mendoakan anak kita?
Sejak Anda melakukan proses hubungan suami istri telah disyariatkan untuk berdoa demi kesalihan anak Anda. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,
“إِنَّ
أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ وَقَالَ: “بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ
جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا”
فَرُزِقَا وَلَدًا لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ”
“Jika salah seorang dari kalian
sebelum bersetubuh dengan istrinya ia membaca “Bismillah, allôhumma
jannibnasy syaithôn wa jannibisy syaithôna mâ rozaqtanâ” (Dengan nama
Allah. Ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa
yang Engkau karuniakan pada kami), lalu mereka berdua dikaruniai anak;
niscaya setan tidak akan bisa mencelakakannya”. HR. Bukhari (hal. 668
no. 3271) dan Muslim (X/246 no. 3519) dari Ibnu Abbas.
Ketika anak telah berada di kandungan
pun jangan pernah lekang untuk menengadahkan tangan dan menghadapkan
diri kepada Allah, memohon agar kelak keturunan yang lahir ini menjadi
generasi yang baik. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mencontohkan,
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Wahai Rabbi, anugerahkanlah kepadaku (anak) yang termasuk orang-orang salih”. QS. Ash-Shâffât: 100.
Nabi Zakariya ‘alaihissalam juga demikian,
رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Ya Rabbi, berilah aku dari sisiMu keturunan yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. QS. Ali Imran: 38.
Setelah lahir hingga anak dewasa
sekalipun, kawal dan iringilah terus dengan doa. Pilihlah waktu-waktu
yang mustajab. Antara adzan dengan iqamah, dalam sujud dan di sepertiga
malam terakhir misalnya.Bahkan tidak ada salahnya ketika berdoa, Anda
perdengarkan doa tersebut di hadapan anak Anda. Selain untuk
mengajarkan doa-doa nabawi tersebut, juga agar dia melihat dan memahami
betapa besar harapan Anda agar dia menjadi anak salih.
Awas, hati-hati!
Doa orangtua itu mustajab, baik doa
tersebut bermuatan baik maupun buruk. Maka berhati-hatilah wahai para
orangtua. Terkadang ketika Anda marah, tanpa terasa terlepas kata-kata
yang kurang baik terhadap anak Anda, lalu Allah mengabulkan ucapan
tersebut, akibatnya Anda menyesal seumur hidup.
Dikisahkan ada seorang yang mengadu
kepada Imam Ibn al-Mubarak mengeluhkan tentang anaknya yang durhaka.
Beliau bertanya, “Apakah engkau pernah mendoakan tidak baik untuknya?”.
“Ya” sahutnya. “Engkau sendiri yang merusak anakmu” pungkas sang Imam.